Yolanda
Terik menyengat pukul tiga belas
Bunyi metromini dan kernet berbalas
Ku sigap meski tergagap
Melompat turun berdegap
Ku tunggu Yolanda, sang seniman jalanan
Pada gang Jakarta yang penuh kerumunan
Yolanda datang jumpalitan, penuh kehangatan
Bunga-bunga terlihat saru, melingkar berkilatan
Gamis dan jilbabnya baru, bagai dapat penobatan
Yolanda merasa laki-laki, ngamennya adalah profesi
Meski dipandang rendah, semangatnya adalah besi
Ia ramah tanpa ceramah, lawan patriarki tanpa anarki
Tetap istiqomah, meski lalui caci dan maki
Yolanda menatapku sendu dan berkata,
“say, udah makan? Kamu suka makan apa?”
Aku terbata-bata, menggeleng semata
“jauh-jauh kamu datang ke mari. Makan dulu lah”
Yolanda merengek, kata-kata tak mampu ku tata
Kami masuk di warung nasi padang
Recehnya bunyi berdendang
Ku masih jelas mengingatnya
Yolanda keluarkan koinnya, hasil ngamennya
Ia bersikeras, bayar makan siang ku dengannya
Ya Tuhan,
Bagaimana mungkin orang yang masih berpikir esok makan apa,
membayarkan ku makan siang?
Apakah kita yang terlalu berhitung, untuk dapat untung?
Memilih dan memilah ingin berbuat baik kepada siapa
Menghitung berapa, padahal bukanlah kaum papa
Tak perlu ukur pahala demi surga menyapa
Sebab budi pekerti haruslah tulus, tanpa harap apa-apa!
(Andi Nur Faizah)
Puisi ini telah dimuat dalam buku “Menghakimi Cinta: Serpihan Puisi tentang Perempuan, Ragam Gender dan Seksualitas, Ragam Keyakinan dan Cinta yang Memenangkan”, diterbitkan oleh GAYa NUSANTARA, 2020.