Samin vs Semen: Perlawanan Terhadap Pabrik Semen di Pegunungan Karst Kendeng, Jawa Tengah
“Samin vs Semen” merupakan film dokumenter yang berkisah tentang perjuangan warga Samin, Pati, dan Rembang terhadap pembangunan pabrik semen di Kendeng, Jawa Tengah. Film yang dibuat pada tahun 2015 ini, hanya mengambil satu sudut pandang saja, yaitu orang Samin. Konflik berawal pada tahun 2006, saat PT Semen Gresik berencana untuk membangun pabrik di Kecamatan Sukolilo, Pati. Rencana tersebut mendapat penolakan dari warga Samin karena pembangunan pabrik dianggap mengancam pertanian dan mata air. Merasa pembangunan pabrik sangat berbahaya bagi lingkungan, pada tahun 2009 warga Samin melakukan gugatan ke PTUN dan Mahkamah Agung. Usaha tersebut berhasil dan membuat PT Semen Gresik mundur. Akan tetapi kondisi tersebut tidak serta merta membuat pabrik semen menyerah. PT Semen Gresik kemudian pindah ke Kecamatan Gunem, Rembang untuk membangun pabrik. Tidak hanya itu, pabrik lain seperti PT Indocement masuk ke Pati dengan rencana pembangunan pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo pada tahun 2010 (hingga saat ini).
Tanggal 16 Juni 2014 terjadi keributan di Rembang. Ibu-ibu melakukan aksi blokade jalan untuk menghalangi pihak PT Semen Indonesia yang ingin melakukan peletakan batu pertama. Polisi dan tentara turun tangan untuk menghadapi warga Rembang yang protes. Warga tidak menyerah, mereka membuat tenda dan bertahan hingga malam hari sebagai bentuk ketidaksetujuannya akan pembangunan pabrik semen di desa Tegaldowo, Gunem, Rembang. Perjuangan warga terus berlanjut tanpa kenal lelah. Pada tanggal 12 April 2016, sembilan orang petani perempuan yang berasal dari Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan melakukan aksi cor kaki di seberang Istana Negara, Jakarta. Mereka dengan tegas menolak pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang dengan alasan dapat merusak lingkungan (mata air mati) dan berimbas pada generasi mendatang.
Aksi ini kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi dengan membuka pertemuan antara warga dengan pihak pabrik semen pada tanggal 2 Agustus 2016. Hasil dari pertemuan tersebut, Presiden meminta agar dilakukan kajian ulang terhadap AMDAL dan memberhentikan sementara pembangunan pabrik. Pada saat warga berjuang di Jakarta untuk bertemu Presiden, warga Rembang (terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak, dan pemuda Rembang) lainnya juga berjuang di sekitar pabrik dengan membuat tenda dan tinggal di sana. Mereka bertahan di bawah tenda hingga gugatannya terkabul: pembangunan pabrik semen dihentikan. Tenda yang penghuninya didominasi oleh ibu-ibu tersebut, dibangun dengan sangat sederhana bertuliskan “Tenda Perjuangan: Tolak Pabrik Semen”. Semangat dan perjuangan tetap membumbung tinggi meski debu beterbangan, truk besar lalu lalang akibat pembangunan pabrik kejar tayang.
Perjuangan warga Pati, Rembang, dan orang Samin seperti mas Gunretno (Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng), maupun mba Gunarti menjadi begitu kuat melalui hadirnya rasa solidaritas. Saya berkesempatan datang ke Pati dan bertemu dengan mba Gunarti. Pengalaman tersebut terasa sangat berharga, karena saya dapat melihat langsung perjuangan para ibu Kendeng dalam melawan pabrik semen. Tidak hanya itu, spirit perjuangan mba Gunarti dalam mempertahankan ibu bumi begitu mendalam dan dapat terlihat melalui way of life yang dijalaninya.
Sedulur Sikep mengajarkan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup melalui tani. Agar dapat bertani, manusia membutuhkan tanah dan air yang disediakan oleh bumi. Melalui pertanian, tanah, dan air, manusia dapat hidup dan bertahan hingga generasi mendatang. Pembangunan pabrik semen tentu akan merusak lingkungan, seperti mematikan mata air, mencemari alam, serta meminggirkan masyarakat dari tanahnya sendiri. Oleh sebab itu, mba Gunarti memiliki tekad kuat untuk mengimbau masyarakat dari desa ke desa untuk tidak tergiur oleh uang yang diberikan oleh pihak perusahaan pabrik semen. Masyarakat harus mempertahankan tanahnya dan tidak menjualnya agar alam tetap lestari. Bagi mba Gunarti, manusia membutuhkan tanah, air, pangan dan sebab itu lebih baik terjadi krisis semen daripada krisis pangan. Meski demikian, konflik internal (warga dengan warga, bahkan antar keluarga) tidak dapat terelakkan.
Kasus yang terjadi di Kendeng sangat lekat dengan aspek ekofeminis spiritual dan sosialis. Tokoh ekofeminis spiritual seperti Starhawk mengungkapkan, spritualitas berbasis bumi memiliki tiga konsep, yakni imanensi, keterhubungan (interconnectedness), dan gaya hidup peduli (Tong 382-383). Lebih lanjut, Karen J. Warren seorang tokoh ekofeminis sosialis berusaha membuat feminisme menjadi lebih komprehensif dengan gagan feminisme transformatif (Tong 391). Bagi Warren, feminisme transformatif memiliki enam karakteristik, yaitu: (1) Mengakui adanya keterkaitan semua sistem opresi; (2) Menekankan keberagaman pengalaman perempuan; (3) Menolak logika dominasi; (4) Memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia; (5) Menjalin dan menyatukan manusia; (6) Ilmu pengetahuan dan teknologi hanya dipergunakan untuk kelangsungan bumi.
Selanjutnya, Maria Mies dan Vandana Shiva dalam bukunya berjudul “Ecofeminism: Perspektif Getakan Perempuan & Lingkungan” menggagas subsistence perspective sebagai jalan keluar untuk melepas masyarakat dari belenggu. Subsistence di sini bermakna bertahan, menghentikan, tetap melakukan, melawan, mundur ke belakang, mempertahankan keterbelakangan (366). Jadi, subsistence bermakna kekuatan mendasar yang berpusat pada kekuatan diri sendiri. Subsistence perspective adalah kunci untuk menghentikan praktik yang mengancam kelangsungan hidup (Tong 395). Melalui subsistence perspective, manusia tidak akan lagi melakukan eksploitasi terhadap lingkungan maupun manusia (366). Subsistence perspective sangat penting untuk menjaga keharmonisan antara alam dan manusia, sebagaimana kutipan berikut:
“Hanya sebuah masyarakat yang mendasarkan dirinya pada subsistence perspectivelah yang dapat hidup harmonis dengan alam, dan antara laki-laki dan perempuan, karena perspektif ini tidak mendasarkan dirinya pada konsep kehidupan ideal yang mengeksploitasi dan mendominasi alam dan orang lain.” (374)
Menurut Mies dan Shiva, terdapat sembilan ciri subsistence perspective, yaitu: (1) Tujuan dan kegiatan ekonomi bukan untuk komoditas; (2) Manusia menghormati alam dan sesama masyarakat; (3) Hadirnya partisipasi akar rumput; (4) Memecahkan persoalan bersama-sama; (5) Melibatkan partisipasi masyarakat; (6) Integrasi kebudayaan dan kerja; (7) Tanggung jawab publik terhadap berkah dan karunia; (8) Peran laki-laki bersama-sama bertanggung jawab memelihara kehidupan; (9) Keterlibatan laki-laki dalam pemeliharaan untuk menjauhkan tindakan militeristik dan terwujud harmonisasi dengan alam.
Berdasarkan gagasan Starhawk, orang Samin menjadikan nilai spiritualitas untuk mengaja alamnya. Konsep pertama, imanensi yakni pemahaman yang menjadikan segala makhluk memiliki nilai dan spiritualitas merupakan pembangkit energi serta pemicu tindakan (Tong 382). Artinya, kegiatan merawat ibu bumi adalah kegiatan spiritualitas orang Samin. Spiritualitas yang diimani orang Samin memicu mereka untuk merawat bumi melalui hidup bertani dan tidak menjadikan hasil bumi sebagai komoditas.
Pada tahun 2009 misalnya, warga Samin melayangkan gugatan kepada PTUN hingga MA untuk melawan PT Semen Gresik. Dalam hal ini, spiritualitas merupakan pembangkit energi sekaligus sumber pendorong orang Samin untuk bertindak. Kedua, keterhubungan (interconnectedness) yang bermakna bahwa manusia memiliki keterikatan dengan alam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Starhawk, semakin manusia merasa terikat dengan alam maka manusia akan mamahami kesatuannya dengan segala sesuatu yang ada (Tong 382). Dalam hal ini, orang Samin merasa bagian dari alam dan tidak akan pernah bisa lepas dari alam.
Kehidupan tani yang tidak lepas dari tanah dan air membuat orang Samin memiliki keterikatan dengan alam. Ketiga, gaya hidup peduli, yang biasanya menjadi gaya hidup perempuan. Terlihat pada kasus mba Gunarti, dirinya terlibat dalam gerakan ibu-ibu Kendeng dalam melawan pabrik semen. Ada kepedulian yang terpatri untuk melindungi ibu bumi. Mba Gunarti berinisiatif dan bertekad kuat dengan mendatangi warga satu persatu dan mengimbau untuk tidak menjual tanahnya kepada perusahaan semen. Hal ini memperlihatkan bahwa spiritualitas membawa manusia pada kepedulian terhadap alam maupun sesama manusia.
Gagasan Warren terkait feminisme transformatif juga sangat penting untuk menganalisis kasus di atas. Pertama, semua sistem opresi saling terkait. Hadirnya pabrik semen tentu akan merusak lingkungan, seperti hilangnya mata air, pencemaran udara, serta meminggirkan masyarakat dari tanahnya (marginalisasi). Implikasinya, masyarakat akan terjerumus pada kemiskinan. Kemiskinan di sini didasarkan pada akses pangan, air, dan tempat tinggal (Shiva & Mies 87). Hal tersebut berimplikasi utama pada perempuan, misalnya pada perempuan hamil yang membutuhkan makanan bergizi atau pada perempuan menstruasi yang lebih banyak membutuhkan air. Sedangkan pada konteks tempat tinggal merujuk pada pekerjaan manusia. Apabila tanah masyarakat dijual pada perusahaan semen, maka mereka tidak lagi memiliki penghasilan dari pertanian. Bisa jadi mereka harus merantau dan mencari pekerjaan baru demi memenuhi kebutuhan hidup. Kehilangan akan akses pangan, air, dan tempat tinggal (lahan) akan mengopresi perempuan. Artinya, kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia juga berkaitan dengan sistem opresi. Kedua, menekankan keberagaman pengalaman perempuan yang merujuk pada kondisi perempuan tidaklah homogen.
Pengalaman ibu-ibu Kendeng dalam memperjuangkan tanahnya mungkin berbeda dengan pengalaman perempuan di daerah lain. Ibu-ibu Kendeng berstrategi dengan mengecor kaki dengan semen di seberang Istana Negara sebagai bentuk perlawanan terhadap pabrik semen. Hal tersebut dilakukan untuk membuka ruang negosiasi dengan Presiden. Terlihat bahwa strategi gerakan perempuan di Kendeng akan berbeda dengan gerakan perempuan di daerah lain. Ketiga, menolak logika dominasi yang artinya bahwa tidak ada pihak yang berkuasa (power over). Dominasi dalam hal ini dapat berupa ideologi patriarkal maupun kekuatan militer yang bersifat top-down (Warren 187). Pada kasus di Rembang, polisi dan TNI yang didominasi oleh laki-laki diturunkan untuk melawan warga. Kekuatan militer yang sangat maskulin dianggap memiliki kekuatan dan dominasi untuk melawan ibu-ibu Rembang yang memblokade jalan.
Keempat, memikirkan ulang apa artinya menjadi manusia dalam kehidupan. Dalam film Samin vs Semen, mba Gunarti mengatakan bahwa Sedulur Sikep tidak mengejar pangkat dan jabatan. Cita-citanya adalah memperbaiki tindakan dan ucapan. Cita-cita tersebut bermakna sebagai tujuan hidup menjadi manusia di muka bumi. Memperbaiki ucapan dan tindakan adalah hal yang sangat penting dibandingkan jabatan. Sangat berbeda dengan pihak kapitalis yang ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Mengeruk bumi untuk kepentingan segelintir orang dan melakukan apa saja untuk mendapatkan kekuasaan. Tentu saja hal tersebut sangat jauh dari prinsip orang Samin.
Kelima, menjalin dan menyatukan manusia. Strategi yang dilakukan mba Gunarti untuk mendatangi warga dari desa ke desa adalah salah satu cara untuk menyatukan manusia dan kekuatan. Kekuatan yang dimaksud adalah spirit untuk melawan pabrik semen. Keenam, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya digunakan untuk kelangsungan bumi. Kenyataannya, ilmu pengetahuan justru dijadikan alat untuk merusak alam. AMDAL yang digunakan adalah hasil rekayasa dengan melibatkan ilmuwan di dalamnya. Pengusaha, pejabat daerah, ilmuwan, dan ahli hukum bersekongkol untuk mengeruk hasil alam demi keuntungan semata. Ilmu yang mereka miliki bukan untuk melestarikan bumi dan hal ini tidak sejalan dengan feminisme transformatif yang digagas Warren.
Gagasan Mies dan Shiva mengenai Sembilan ciri subsistence perspective juga sangat penting untuk melihat kasus Kendeng. Pertama, tujuan dan kegiatan ekonomi bukan untuk komoditas. Terlihat pada cara orang Samin dalam menjalani hidup, mereka bertani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan pantang berdagang. Sangat kontras dengan pengusaha yang sarat dengan kapitalistik, mengeruk hasil bumi sebanyak-banyaknya untuk keuntungan sebesar-besarnya. Pegunungan karst tidak lagi dianggap sebagai pegunungan, melainkan tumpukan uang yang akan dijadikan komoditas.
Kedua, manusia menghormati alam dan sesama masyarakat. Orang Samin begitu menghargai alam, karena bagi mereka ibu bumi telah menyediakan tanah yang digunakan untuk sumber pangan dan kehidupan. Air adalah hasil alam yang disediakan oleh bumi dan harus dijaga serta dilestarikan untuk kehidupan anak cucu mendatang. Sebab itulah, mereka bersikeras untuk menolak pembangunan pabrik semen, karena hal tersebut dapat merusak ibu bumi. Sebaliknya, penghormatan terhadap alam dan manusia terlihat pudar pada pihak penguasa yang haus akan harta serta takhta.
Ketiga, hadirnya partisipasi akar rumput. Pada kasus Kendeng, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng hadir untuk membangun strategi dalam melawan pabrik semen. Artinya, akar rumput turut berpartisipasi untuk menjaga lingkungannya.
Keempat, memecah persoalan bersama-sama. Warga Pati, Rembang, dan Samin saling bersinergi untuk melawan pabrik semen. Mereka melakukan rembuk bersama untuk menyusun strategi dalam melawan pabrik semen. Rembuk bersama juga membicarakan konflik internal yang terjadi di dalam masyarakat, seperti permasalahan jual lahan. Bahkan konflik sesama saudara terjadi karena problema penjualan lahan kepada pihak pengusaha pabrik semen. Sebab itulah rembuk diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan bersama.
Kelima, melibatkan partisipasi masyarakat. Baik perempuan maupun laki-laki ikut terlibat untuk melawan pabrik semen. Misalnya, seperti sembilan orang ibu petani Kendeng yang melakukan aksi cor kaki di seberang Istana Negara. Hal tersebut merupakan bentuk partisipasi warga untuk menyuarakan pendapatnya sekaligus strategi dalam bernegosiasi dengan negara. Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng juga merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam rangka menolak pembangunan pabrik semen.
Keenam, integrasi kebudayaan dan kerja yang mengarah pada bentuk tanggung jawab berdasar asas kesadaran. Poin ini bermaksud untuk menghubungkan integrasi antara spirit dan materi (Shiva & Mies 373). Maksudnya, kegiatan yang dilakukan oleh manusia berlandaskan kesadaran serta tanggung jawab. Bukanlah bersifat materialistis dan kesadaran semu. Hal ini terlihat pada cara hidup orang Samin yang tidak mengejar materi dan bertanggung jawab terhadap alam melalui menjaga dan memelihara lingkungan. Spiritual menjadi sumber kekuatan untuk orang Samin dalam menjaga tanah air Ibu Pertiwi.
Ketujuh, tanggung jawab publik terhadap berkah dan karunia. Pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab semu pihak. Tidak hanya warga Kendeng, tetapi juga masyarakat di derah lain baik pedesaan maupun perkotaan. Keberadaan alam Indonesia yang melimpah mestinya dijaga dan menjadi tanggung jawab publik. Tetapi pada kenyataannya, ketamakan membuat manusia menjadi “buta” dan tidak menjadikan lingkungan sebagai tanggung jawab bersama.
Kedelapan, peran laki-laki bersama-sama bertanggung jawab memelihara kehidupan. Tokoh seperti mas Gunretno maupun mba Gunarti dapat menjadi contoh kongkrit dalam melihat peran perempuan maupun laki-laki yang secara bersama-sama membangun kekuatan untuk menghentikan pembangunan pabrik semen di Kendeng. Warga Pati, Rembang, maupun Samin bersatu bersama untuk melawan pabrik semen.
Kesembilan, keterlibatan laki-laki dalam pemeliharaan sangat dibutuhkan untuk menjauhkan tindakan militeristik serta mewujudkan harmonisasi antara manusia dengan alam. Tampak pada strategi yang dilakukan oleh warga Kendeng dalam melakukan aksi, pendekatan militeristik dijauhkan dan lebih menekankan pada substansi gerakan. Misalnya, melakukan cor kaki dengan semen bahkan membawa hasil bumi untuk menunjukkan bahwa Kendeng adalah tanah yang subur dan melimpah. Artinya, melalui pemahaman harmonsasi akan menjauhkan manusia dari tindakan militeristik. Sebaliknya, pihak pengusaha menghadirkan Polisi dan TNI untuk menghadang warga bahkan menggunakan preman untuk menakuti warga. Cara tersebut sangat jauh dari nilai subsistence perspective.
Cara hidup orang Samin dalam menjaga alam sangat dekat dengan nilai-nilai ekofeminis spiritual dan sosialis. Tidak hanya menjadikan spiritualitas sebagai kekuatan dari dalam untuk menjaga ibu bumi, tetapi juga feminisme transformatif dan subsistence perspective menjadi roh dalam pergerakan melawan pabrik semen. Gagasan ekofeminis spiritual dan sosialis sangat penting untuk melihat keterkaitan antara spiritualitas, harmonisasi manusia dan alam (manusia dengan manusia dan manusia dengan alam), serta menyadarkan manusia dari eksploitasi dan dominasi.
(Andi Nur Faizah)