Menyusu Ciliwung: Sebuah Kisah Tentang Relasi Perempuan dan Alam
Andi Misbahul Pratiwi
Pada Agustus 2015 lalu, karena sebuah tugas menulis artikel saya berkesempatan untuk menemui ibu-ibu yang tinggal di dekat sungai Ciliwung, tepatnya di kelurahan Ratu Jaya Depok. Kunjungan tersebut sangat mengagetkan saya tentunya, sebagai mahasiswa yang berkuliah di Depok bertahun-tahun, tapi saya baru mengetahui bahwa masih ada masyarakat yang mandi, mencuci, bahkan mengajak anak-anaknya berenang di sungai Ciliwung. Ya, memang pengetahuan saya tentang Ciliwung hanya ketika banjir Jakarta. Tentu anggapan awam kita Ciliwung adalah penyebab banjir Jakarta. Namun bagi masyarakat di Kelurahan Ratu Jaya, khusunya mereka sebagai ibu rumah tangga memiliki pandangan lain tentang Ciliwung. Bagi mereka Ciliwung adalah kehidupan, Ciliwung adalah teman, Ciliwung adalah Ibu.
Saat saya memasuki wilayah keluarahan Ratu Jaya, pemandangan pertama yang saya lihat adalah sekumpulan orang sedang mengantri untuk mengisi bak, galon, drijen mereka dengan air. Rupanya, pada saat itu Depok sedang dilanda kekeringan air. Musim kemarau yang sangat panjang membuat sumur-sumur mereka kering. Ternyata warga sedang menampung air untuk persediaan sehari-hari, memasak, mandi dsb. Air tersebut bersumber dari sumur yang dibuat salah satu warga, lokasi sumur itu sangat dekat dengan pingiran sungai Ciliwung yang melintas di kota Depok. Disaat musim kemarau sumur tersebut masih mengeluarkan air yang bersih dan berlimpah. Saya meneruskan perjalanan saya hingga bantaran sungai Ciliwung di kelurahan Ratu Jaya, di sana saya temui banyak rumah-rumah warga permanen berjarak hanya 5 meter dari sungai, sangat dekat. Saya menuju sungai dan menemukan ada ibu rumah tangga yang sedang mencuci pakaian, mandi, maupun menampung air di sungai. Salah satunya adalah ibu Nita (38 tahun) yang selama ini merasa Ciliwung sangat bermanfaat bagi mereka.
“Saya mempunyai anak 4 dan saya memandikan mereka semua di sungai setiap harinya. Air sumur saya gunakan untuk memasak saja. Saya senang tinggal dekat sungai, karena ketika kekeringan warga yang rumahnya jauh ramai-ramai pergi ke sungai untuk mencuci juga. Selama saya 10 tahun tinggal disini keluarga kami alhamdulilah sehat. Saya dan anak-anak mandi di sungai dengan kain gendong saja, warga di sini sudah terbiasa seperti itu. Air sungai masih bersih, masih banyak pohon bambu dan batu-batu besar. Di sini juga tidak pernah kebanjiran seperti Jakarta. Saya senang tinggal di sini, ada sungai yang menjadi tempat menghilangkan penat. Selama kekeringan ini belum ada bantuan air dari pemerintah kota yang dateng ke sini. Meskipun begitu, kami masih punya sungai, jadi kami sudah biasa menghadapi kemarau panjang.”
Dari kisa ibu Nita, kita dapat memahami bahwa Ciliwung adalah berkah bagi mereka. Ada keterikatan khusus alam dengan perempuan. Pekerjaan yang berkaitan dengan air mayoritas dilakukan oleh perempuan. Ketika sumber air jauh dari rumah mereka dan sumur-sumur mulai mengering. Perempuan-perempuan tersebut harus berjalan kaki dan memanggul air yang dibawanya kerumah. Hal itu terkadang membuat mereka kelelahan dan rentan terkena penyakit. Air adalah bagian dari alam dimana semua makhluk hidup berhak atasnya. Mencemari air berarti juga mencemari tubuh perempuan, mencemari tubuh anak-anak, mencemari pangan keluarga. Maka yang disebut dengan masalah lingkungan hidup ialah ketidak-serasian dalam hubungan manusia dan lingkungan, sehingga terjadilah bencana alam, perubahan iklim, dan kemiskinan. Dewi Candraningrum menulis:
The fundamental understanding on nature is that nature can communicate with human beings, that it can develop a discourse with human beings, provided that human beings can place themselves in an equal relationship with nature. A democratic conversation between human beings and nature will greatly help human beings to develop a new discourse against the episteme that has been cruel to nature. Human beings’ authentic experiences with nature can assist human beings in making consideration, policies, and findings that are sensitive to the voices of nature. Human beings therefore get rids of their self-centered state and unite themselves with nature in an organic relationship to avoid hierarchy and exploitation or cruel relationship. (16)
Ketidakserasian hubungan manusia dan lingkungan ini sejalan dengan logika maskulinitas dimana ada dominasi dari salah satu pihak—dalam hal ini manusia terhadap alam. Ekofeminisme meneruskan kemajuan dalam feminisme tradisional yang memerhatiakn semua sistem penindasan manusia sampai pada kesadaran bahwa “naturisme” (eksploitasi alam) juga merupakan hasil dari logika dominasi. Logika maskulinitas ini bukan hanya merugikan alam tapi juga perempuan sebagai makhluk yang dilekatkan dengan nilai-nilai femininitas alam (merawat, melahirkan, memberi kehidupan). Ekofeminisme spiritual juga sangat dekat dengan apa yang dialami oleh ibu Nita. Kedekatan dengan alam secara holistik bagi perempuan adalah sebuah pengalaman panjang. Melalui pengalaman tubuh perempuan yang unik—menstruasi bulananya, simbiosis kehamilan yang sangat menuntut perhatian, kesakitan ketika melahirkan, dan kenikmatan menyusui anak-anaknya. Dengan demikian menurut Starhawk perempuan mengetahui apa yang tidak diketahui laki-laki, bahwa manusia adalah satu dengan alam (Tong 381-382).
Vandana Shiva dalam bukunya Water Wars Vandana Shiva dalam bukunya Water Wars memaparkan bahwa harus ada gerakan yang memerangi polusi industri berteknologi tinggi dengan mengusulkan gerakan Bill of Rights lingkungan. Polusi industri menyebabkan air menjadi kotor dan Ciliwung tercemar. Manusia mengeksploitasi air untuk kepentingan kapitalis. Padahal menurut Shiva air adalah karunia alam, kita menerima air bebas dari alam. Kita berhutang kepada alam untuk menggunakan karunia ini sesuai dengan kebutuhan rezeki kita, untuk tetap bersih dan dalam jumlah yang memadai.
We receive water freely from nature. We own it to nature to use this gift in accordance with our sustenance needs, to keep it clean and in adequate quantity. Diversions that create arid or waterlogged regions violate the principles of ecological democracy. (Shiva, 2002)
Eksploitasi yang menciptakan daerah kering atau tergenang melanggar prinsip-prinsip demokrasi ekologis. Hidup saling berhubungan melalui air. Air menghubungkan semua makhluk dan semua bagian dari planet melalui siklus air. Kita semua memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tindakan kita tidak membahayakan orang lain dan spesies lain. Tidak ada yang memiliki hak untuk terlalu sering menggunakan, penyalahgunaan, limbah, atau mencemari sistem air (Pratiwi 67). Sejalan dengan pemikiran Shiva, tokoh feminis sosialis Maria Mies juga memiliki pandangan yang sama bahwa manusia harus memandang air, udara, bumi dan semua sumber alam sebagai milik komunitas bukannya milik perseorangan.
Perempuan di bantaran sungai Ciliwung Depok, menjaga Ciliwung dengan baik, tidak seperti pabrik-pabrik yang membuang limbah ke sungai, masyarakat di kelurahan Ratu Jaya tidak membuang sampah di Ciliwung. Akar tanaman bambu dapat berfungsi sebagai penahan erosi guna mencegah bahaya banjir. Tak heran, beberapa jenis bambu banyak yang tumbuh di pinggir sungai atau jurang karena sesungguhnya berperan penting mempertahankan kelestarian tempat tersebut. Akar tanaman bambu juga dapat berperan menangani limbah beracun akibat keracunan mercury. Akar tanaman ini akan menyaring air yang terkena limbah melaui serabut-serabutnya. Selain itu, akar bambu mampu melakukan penampungan mata air sehingga bermanfaat sebagai sumber penyediaan air (Pratiwi 68). Bagi Ibu Nita Ciliwung adalah Ibu yang menyusui, menjaga dan memberi penghidupan atas air-airnya, batu-batunya, dan bambu-bambunya.
Daftar Pustaka
Candraningrum, Dewi. “Under Keningar Trees, the Bulls Drink No More: Myth of Mother Merapi”. Body Memories. Jakarta: YJP Press, 2014. Print.
Pratiwi, Andi Misbahul. “Anak-anak Menyusu Air, Batu, Bambu: Perempuan Ratu Jaya Merawat Bantaran Sungai Ciliwung”. Ekofeminisme Series III: Tambang, Perubahan Iklim & Memori Rahim. Yogyakarta: Jalasutra. 2015. Print.
Tong, Rosemarie Putnam. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis (terj). Jalasutra:Yogyakarta, 1998. Print.
Shiva, Vandana. Water Wars. South End Press. 2002. Ebook.