Kita Bukan Duplikasi

Saat kamu baca tulisan ini, coba ingat kembali apakah sekali dalam hidupmu pernah mengalami
rasa membandingkan diri sendiri dengan orang lain, saudara, teman, rekan kerja, atau bahkan
sahabat. Tenang aja, itu secara umum pasti terjadi kok. Tapi menurutku, apakah hal itu sampai
mempengaruhi arah dan pathways hidupmu atau tidak, itu yang lebih penting. Sini-sini, kita
ngobrol dulu.


Kita mulai dari hal yang sederhana, aku menulis opini ini dalam kondisi tidak sedang dalam
situasi terbeban pekerjaan domestik (mencuci piring/baju, memasak, membersihkan rumah,
menyetrika pakaian, mengambil air di sumur/sumber mata air dan lainnya). Aku juga tidak
sedang berada di wilayah yang rawan konflik akibat isu ras, agama, dan suku. Aku juga tidak
berada di wilayah yang minim aksesibilitas ke dunia digital dan teknologi. Listrik teralirkan
dengan sempurna tanpa pemadaman bergiliran. Artinya, bahwa aku sedang berada di kondisi
beruntung karena tercukupi kebutuhan dasarnya.


Mungkin kamu ada yang lebih beruntung dariku, misalnya sedang menikmati mengenyam
pendidikan yang lebih tinggi, atau memiliki portofolio saham dan investasi yang sudah cuan dari
beberapa tahun lalu. Bisa jadi. Tapi, ada juga lho kamu yang saat ini sedang merasakan semua
beban domesik dan kendala-kendala fasilitas yang membuatmu muak dengan semuanya.
Merasa menderita karena menjadi sandwich generation (mungkin).


Dari standing point di atas menunjukan bahwa kita adalah berbeda. Kita berasal dari latar
belakang yang beragam. Entah itu aspek pendidikan, ekonomi, status sosial, dukungan fasilitas,
tanggung jawab dan lainnya. Jadi, tidak fair rasanya jika selalu membandingkan pathways atau
arah hidupmu dengan orang lain yang jelas-jelas titik nol atau startnya tidak sama. Semuanya
berjuang, semuanya menderita (dalam tingkatan dan effort-nya masing-masing).


Jadi stop untuk mengukur-membandingkan pencapaian dan kesuksesanmu dengan orang lain.
Kita bukan orang yang sama, bahkan sekelas kembar identik pun. Kita bukan duplikasi, masing-
masing kita adalah diri dengan sudut pandang orisinil sesuai pengalaman masing-masing. Lalu,
apakah salah mengidolakan sosok/figure? Tentu tidak, mencari referensi atau strategi untuk itu
merupakan hal yang lumrah. Menjadi tidak masuk akal jika sudah memaksakan diri untuk
menderita supaya kamu dinilai sama seperti sosok yang kamu dewakan, itu yang patut menjadi
waspada.


Kembali lah pada dirimu sendiri, rangkulah proses yang mungkin sempat terhenti dan mulai
melangkah (atau merangkak) saat ini. Tapi, jika belum sanggup, it’s totally fine.

(Fitria Sari)

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *