Ketika Otakku “Membusuk”

Brain Rot rupanya bukan hanya isapan jempol. Saya khawatir karena kondisi itu sedang terjadi pada saya saat ini. Beberapa waktu ini mengalami kemunduran signifikan dalam produktivitas kreasi dan karya (read: membaca, menulis, dan membuat content). Sebelum membahas lebih jauh, begini makna dari brain rot. Brain rot adalah istilah untuk menggambarkan obsesi berlebihan ini diambil dari kata dalam bahasa Inggris, yakni brain, yaitu otak, dan rot, yaitu membusuk. Brain rot digunakan untuk merujuk pada situasi di mana seseorang terlalu terpaku pada hal tertentu akibat konsumsi konten digital yang berlebihan sehingga otaknya “membusuk”[1].  –

Dalam satu hari, saya melihat laporan aktivitas dengan gadget di tangan saya rata-rata hampir 17-18 jam. Bayangkan 1 hari ada 24 jam, maka sisa aktivitas lainnya hanya selama 6-7 jam (termasuk tidur di malam hari). Sebelum saya berburuk sangka pada diri saya sendiri, bisa jadi selama 17-18 jam saya berusaha mencari informasi yang bermanfaat. Jawabannya iya, betul. Tapi nyatanya semuanya menyublim-menguap tak bersisa. Sedikit sekali jejak pengetahuan atau perubahan perilaku ke arah yang lebih produktif yang saya rasakan. Padahal saya bekerja di industri teknologi digital, seharusnya ini menjadi strategi yang bermanfaat. Tapi nyatanya, demotivasi yang ada. Selebihnya mari kita lihat beberapa ciri brain rot (bukan bermaksud mencari validasi atas yang saya rasakan, tapi bisa jadi pembaca juga sedang merasakan hal yang sama).

Pertama, saya suka menunda pekerjaan atau aktivitas apapun, baik itu yang membutuhkan effort sepele (apalagi berat). Saat hal sepele perlu dikerjakan, saya memilih untuk mengerjakan nanti karena merasa bisa dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Intinya adalah menunda. Ibarat kata, kalau bisa nanti kenapa harus sekarang. Apa lagi pekerjaan berat, menundanya bisa berhari-hari, karena saya merasa tidak mampu untuk melakukan. Lagi-lagi judgmental atas kemampuan pribadi.

Kedua, saya merasa kebingungan dengan fakta yang muncul dari media sosial. Terasa seperti kelelahan, karena begitu banyak informasi yang masuk dalam otak. Terlebih informasi berisi tentang berita kekerasan, kasus korupsi-kolusi-nepotisme, pembunuhan, penjambretan, kecelakaan beruntun, bencana alam, sampai terasa pesimis menjalani hidup dan menimbulkan negative vibes.

Ketiga, saya kesulitan untuk menyusun konsep berpikir dan mencerna penjelasan dari lawan bicara. Sebelumnya, saya terbisa membuat “mind mapping” saat berbicara dengan orang maupun saat mengikuti aktivitas daring seperti webinar. Tapi kali ini, boro-boro saya membuat mind mapping, mencerna pesan yang disampaikan orang tersebut saja membutuhkan waktu lebih lama, jika ada teks (subtitle) perlu membaca 3-4 kali untuk mengerti pesan tersebut. Otak saya terasa lelet, lemot, dan kesulitan berpikir kritis.

Ironisnya, setelah saya menyadari kondisi di atas, saya berusaha untuk menutup akun social media. Apa yang menjadi pengalihannya? Scrolling content lainnya, termasuk berselancar di e-commerce, meskipun saya hanya meletakkan barang incaran satu dan lainnya di keranjang.  

Nah pembaca, saat ini saya masih berjuang untuk melepaskan diri dari cengkraman brain rot. Ya, salah satunya dengan menuangkan kegelisahan dalam bentuk tulisan ini. Isi otak yang terlalu penuh informasi, tapi tidak mengerti mana yang menjadi prioritas atau bukan. Maka, saya coba lampiaskan dalam menulis. Beberapa kali saya juga coba mendaftar pada webinar dan talkshow lebih banyak. Berusaha memaksa otak saya untuk berpikir dengan mengajukan pertanyaan yang relevan. Atau cara lain yang lebih sederhana seperti membaca novel/cerpen ringan, atau sekedar bersih-bersih sambil mendengarkan musik. Atau mau yang lebih sederhana? Saya keluar rumah untuk melihat pohon-matahari-tanah dan bernapas. Setidaknya aktivitas itu dapat memutus kecanduan scrolling pada titik tersebut. Mungkin pembaca juga punya cara tersendiri untuk lebih kreatif dan produktif.

Tidak ada solusi singkat seperti obat sakit kepala dalam proses yang sedang saya lalui ini. Artinya, berbagai upaya memang perlu dilakukan dengan meningkatkan aktivitas lain. Kalaupun tetap ada obsesi dengan gadget atau media sosial, mungkin bisa mencoba menjadi content creator yang sangat menjanjikan, karena mampu mengoptimasi informasi yang kita peroleh sebagai referensi untuk membuat content inspiratif lainnya. Bahkan bisa menghasilkan cuan! Menggiurkan.  

Pada akhirnya, kondisi ini menyadarkan bahwa gadget-media sosial dan kawan-kawanya adalah alat. Tidak ada salah pada mereka. Kita sebagai subjek utama yang punya kewajiban ataupun kemampuan mengendalikan alat tersebut dalam genggaman. Mereka bisa membuat otak tetap berpikir atau membusuk dalam satu masa. Kembali ke pilihan kita masing-masing.

Fitria Sari


[1] Kompas.com “Apa Itu “Brain Rot”? Kenali Bahayanya bagi Anak”, https://lifestyle.kompas.com/read/2024/12/11/075205720/apa-itu-brain-rot-kenali-bahayanya-bagi-anak.

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *