Feminis Ekonomi: Gugatan atas Narasi Besar Ekonomi yang Maskulin
Pada sebuah diskusi yang selenggarakan Jurnal Perempuan, Rahma Iryanti, Deputi Bidang Ketenagakerjaan BAPENNAS memaparkan data-data statistik Tingkat Partisipasi Angkata Kerja (TPAK) perempuan di Indonesia. Salah satu statement yang ia lontarkan adalah, TPAK perempuan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa. Dengan demikian Indonedia menurutnya perlu model ekonomi inklusif, artinya model ekonomi yang bisa memberikan akses seluas-luasnya kepada tentu kepada penduduk, angkatan kerja, penduduk kurang mampu dan sebagaianya. Lebih jauh Rahma juga memaparkan bahwa Gross Domestic Product (GDP)[1] per kapita Indonesia sudah cukup meningkat, cukup baik sekali menurutnya[2]. Begitulah kira-kira gambaran percakapan-percakapan tentang isu kerja dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, narasi-narasi besar, GDP, pertumbuhan ekonomi dan soal TPAK. Meskipun sudah ada data terpilah yang disajikan, namun kajian atas fenomena yang terjadi dibalik angka-angka tersebut belum gamblang dipaparkan. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang menjadi aktor pertumbuhan ekonomi? berapa besar kesenjangan ekonomi yang ada? dan seperti apa wajah kemiskinan itu?
Di balik angka-angka statistik yang ada, sebenarnya kita tahu setiap manusia yang diukur bukanlah entitas yang tunggal dan sama, semuanya saing terkait dan memiliki berbagai persoalan dan pengalaman kerja yang unik. Negara lupa bahwa di balik ukuran Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) ada kerja-kerja yang tidak masuk dalam ukuran tersebut, yaitu kerja-kerja domestik. Kisah Latifah dalam buku Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial[3] hanyalah satu kisah diantara jutaan kisah perempuan yang tidak pernah diukur negara dalam data-data statistik.
Latifah, 18 tahun, seorang buruh pabrik tekstil yang sehari-sehari bertugas menjahit blus dari potongan-potongan kain. Upah pertamanya adalah 5000 rupiah. Ia Setelah pulang kerja, ia harus membantu ayahnya untuk mengurus pekerjaan rumah, menyapu, memasak, dan mencari singkong. Sebelum ia bekerja di pabrik tekstil, ia adalah seorang penjahit pakaian di rumah, namun karena pelanggan kerap kali lupa dan menunda pembayaran akhirnya ia tidak melanjutkan usahanya tersebut. Di desanya, tidak banyak perempuan muda yang bekerja di pertanian, umumnya ibu-ibu yang sudah tua dan upahnya pun tidak banyak, hanya 750 rupiah hingga siang hari[4].
Dari kisah Latifah, kita dapat melihat bahwa perempuan memiliki berbagai persoalan di ruang domestik sebagai pekerja dan di ruang publik sebagai pekerja. Julie A. Nelson menulis sebuah esai yang berjudul “Feminist Economics”[5] dan “Feminism and Economics”, dalam kedua tulisannya tersebut Nelson menggugat bahwa disiplin ekonomi adalah disiplin yang maskulin, yang mengabaikan kualitas feminin dan Ia melihat bahwa ilmu ekonomi masih jauh dari objektifitas. Studi ekonomi menurutnya hanya fokus pada kerja-kerja yang dilakukan oleh laki-laki, sedangkan kerja-kerja produksi di dalam rumah—yang dikerjakan oleh perempuan tidak masuk dalam perhitungan statistik nasional.
Harper Collins dalam ulasannya tentang tulisan Marilyn Waring If Women Counted: A New Feminist Economics, ia mengemukakan pandangan Waring bahwa GDP secara sistematis tidak merekognisi pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan bagi Waring memiliki peran penting di dalam bidang rumah tangga seperti merawat anak atau merawat orang lanjut usia dan hal ini terjadi di seluruh dunia. Pekerjaan rumah tangga seperti ini secara ekonomi sangatlah berperan penting bagi suatu negara karena dianggap dapat menjamin terus tersedianya sumber daya manusia untuk memproduksi suatu produk. Tetapi kebanyakan, pekerjaan yang banyak dilakukan oleh ibu rumah tangga ini tidak dimasukan dalam perhitungan GDP (Collins, 1992).
Melihat kisah Latifah dalam kajian feminis ekonomi, kita bisa tahu bahwa kerja-kerja domestik yang Latifah kerjakan bukan kategori kerja produktif sehingga kerja domestik tersebut dianggap tidak memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangat berkaitan dengan GDP yang tadi saya paparkan di awal[6], bahwa ukuran-ukuran statistik pertumbuhan ekonomi telah mengeksklusi kerja-kerja domestik perempuan, aktivitas yang dianggap tradisional (yaitu kerja domestik), kesejahteraan perempuan dan anak tidak terlihat dalam narasi besar pertumbuhan ekonomi bangsa (Nelson, 1995). Dalam kajian ekonomi juga tidak melihat apakah upah yang didapatkan dari hasil kerja Latifah sebagai buruh pabrik dapat memberikan kesejahteraan bagi Latifah atau tidak.
Sehigga berpijak dari pemikiran ekonomi feminis dalam konteks kisah Latifah, kita dapat melihat bahwa posisi perempuan dalam kerja masih mengalami marginalisasi dalam sistem ekonomi. Hal tersebut terjadi karena, 1) Perempuan melakukan kerja-kerja domestik (bukan kerja produksi), selama ini tidak pernah diperhitungkan dalam ukuran-ukuran statistik pertumbuhan ekonomi karena tidak dianggap menghasilkan uang, 2) Perempuan dianggap menjadi pekerja yang tidak ahli karena mengerjakan pekerjaan khas perempuan (menjahit), sehingga diberikan upah yang rendah, 3) Perempuan dianggap bukan agen ekonomi utama, karena kerja-kerja perempuan mayoritas berada di sektor informal, domestik, dan bukan usaha besar, seperti Latifah yang membuka usaha jahit di rumahnya. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi nasional, kerja-kerja produksi di sektor informal yang dikerjakan latifah bukan bagian dari sistem ekonomi. Jadi Latifah adalah contoh bagaimana disiplin ekonomi tidak mampu melihat persoalan khas perempuan dalam kerja.
Dalam “Feminism and Economics”, Nelson menjelaskan lebih jauh bagaimana disiplin ekonomi selama ini tidak objektif melihat persoalan perempuan dalam kerja, menurutnya Menurut Nelson ilmu ekonomi jauh dari kata objektif dan cara pandang feminisme ekonomi dapat membantu ilmu ekonomi agar mendekati objektif. Nelson mengajukan 4 hal penting yang harus diperhatikan dalam ilmu ekonomi yaitu, model, metode, topik dan pedagogi ekonomi.
Pertama, model ekonomi yang dimaksud adalah kritik Nelson terhadap model ekonomi homo economicus, karena menurutnya tidak hanya manusia itu independen, tetapi juga dependen. Manusia dilahirkan oleh perempuan, dibesarkan bergantung dari orang tua, dan bersosial dengan lingkunnya. Homo economicus tidak bisa mencakupi sifat manusia yang tidak hanya independen, tetapi juga dependen, individual tetapi juga berelasi, memiliki nalar dan emosi. Sehingga konsep ekonomi feminis menyarankan bahwa sebaiknya tidak hanya satu model saja yang berlaku dalam ilmu ekonomi.
Model ekonomi yang luas dapat melihat realitas-realitas ekonomi yang bersinggungan dengan politik, hukum, budaya, dan lainnya. Dalam kisah Latifah tergambar jelas bahwa relasi Latifah saling mengait satu sama lain, ia memiliki kaitan dengan ayahnya di rumah sehingga harus mengerjakan kerja domestik. Kemudian Latifah juga berelasi dengan pabrik tekstil tempat ia bekerja, dimana ada berbagai kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, seperti status pernikahan, upah kerja, dan fasilitas kerja yang tidak mendukung.
Kedua, metode ekonomi yang dimaksud adalah metode ekonomi yang dapat mengnalisis fenomena ekonomi. Menurut Nelson pada ilmu ekonomi, terdapat hirarki metode dimana metode-metode abstrak seperti matematika dinilai lebih baik daripada metode empiris berupa data dan bukti konkret yang detail. Ketidakseimbangan antara substansi dan metode membuat pelajar ekonomi terlatih secara teknik, tetapi tidak peka akan isu-isu ekonomi. Akan lebih baik bila kualitas positif maskulin dan feminin bergabung dalam merumuskan metode ekonomi. Oleh karena itu, metode abstrak seperti matematika hanyalah satu alat dari berbagai macam alat yang ada. Tidak semestinya satu metode tersebut yang menjadi cara dalam menganalisis fenomena ekonomi. Ilmu ekonomi akan lebih baik bila memakai berbagai macam peralatan dalam menaganalisis fenomena ekonomi. Sehingga dengan metode ekonomi tersebut kisah Latifah dapat dijadikan masukan dalam pembuatan kebijakan ekonomi nasional.
Ketiga, topik ekonomi yang dimaksud adalah tentang topik pada studi ekonomi yang cakupannya sangat sempit menurut Nelson. Definisi ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari proses bagaimana barang, jasa, dan aset finansial dipertukarkan. Definisi tersebut sangat sempit dan membuat ilmu ekonomi mengabaikan kegiatan tradisional perempuan seperti merawat anak, mengurus rumah, dan sebagainya sebagai hal yang noneconomic. Kisah Latifah yang mengalami multibeban dalam konteks ekonomi dan kerja, tidak dianggap sebagai topik studi ekonomi yang penting. Sehingga definisi ilmu ekonomi itu sendiri harus diperluas ke dalam aktivitas kerja di ruang domestik-publik, produktif-nonproduktif, privat-publik. Dalam definisi ekonomi yang sempit, ranah dalam rumah hanya dianggap sebagai yang sosial dan familial. Definisi ekonomi yang sempit membuat ilmu ekonomi bersifat unidimensional daripada multidimensional.
Keempat, Pedagogi ekonomi yang dimaksud adalah sistem pengajaran dalam studi ekonomi. Pembelajaran eksperimental dan sesi laboratori yang lebih berfokus pada data dan hubungan pendidik dan pelajar yang lebih dekat dan tidak berjarak dengan sering melakukan dialog dan diskusi menjadi salah satu rekomendasi Nelson. Menurutnya hierarki dalam pengajaran ekonomi membuat kasus ketidakadilan tersendiri, karena pelajar yang lemah dalam bidang-bidang abstrak (bukan matematika) tidak dapat berpartisipasi banyak dalam ilmu ekonomi.
Dari uraian empat aspek ekonomi tersebut, Julie A. Nelson sebagai feminist economic, ingin ilmu ekonomi tidak bias gender, lebih objektif, seimbang, multidimensional, dan produktif dalam memahami femonena ekonomi, baik itu dilakukan oleh praktisi laki-laki maupun praktisi perempuan. Dengan demikian persoalan multidimensi dan multibeban yang dialami Latifah dapat dipahami sebagai sebuah persoalan ekonomi, bukan hanya persoalan dalam hal statistik data namun juga dalam konsep ekonomi mulai dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga.
(Andi Misbahul Pratiwi)