Bagaimana Para Feminis Memandang Make-up? (Part 2)
Make-up itu menjadi bagian identitas diri tapi tidak menjadi indikator utama. Karena yang terpenting adalah perempuan mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, di dalam hatinya, di dalam pikirannya secara “sadar”.
Hal yang paling penting bagi diri perempuan adalah bagaimana bisa mendefinisikan dirinya dengan ‘penuh kesadaran’. Maksudnya begini, kita sadar bahwa standar kecantikan itu dibuat dan dikonstruksi untuk berbagai kepentingan, tetapi kita punya otoritas penuh untuk mendefinisikan diri sendiri. Perempuan itu adalah subjek penuh kehidupan di tengah standar kecantikan yang mengopresi mereka. Penguatan kesadaran kritis perempuan terhadap definisi diri dan tidak menjadi objek adalah hal penting yang perlu dilakukan.
Apabila perempuan punya kesadaran kritis, maka perempuan akan menganggap pemakaian make-up sebagai satu-satunya value diri. Perempuan juga tidak memaksakan diri untuk membeli peralatan make-up yang mahal di luar kemampuan finansial. Atau merasa make-up yang “wah” itu hanya produk impor. Tidak percaya dengan make-up produk lokal karena “murahan”. Atau menggunakan peralatan make-up mahal untuk mendapatkan pengakuan. Ini adalah persoalan mental dan kognisi yang perlu dibenahi.
Oleh sebab itu, membangun kesadaran kritis menjadi poin penting. Perempuan perlu sadar bahwa kecantikan itu dibuat standar, maka tidak perlu untuk memaksakan diri agar diterima dengan mengubah penampilan yang tidak menjadi dirinya sendiri. Sekarang sudah banyak wadah edukasi yang bisa dijadikan rujukan, mulai dari media sosial, film, artikel, buku, dan sebagainya. Banyak bacaan juga tentang feminisme yang bisa dipelajari. Kalau kita punya kesadaran kritis, maka sesama perempuan akan saling mendukung. Sesama perempuan akan membuat support system. Tidak mengomentari fisik melulu, tetapi membangun ruang aman.
Make-up sebagai identitas diri sebetulnya tidak menjadi persoalan. Beauty vlogger sudah pasti menjadikan make-up sebagai bagian identitas dirinya. Atau make-up artist sudah pasti menjadikan make-up sebagai bagian identitas diri. Atau mahasiswi sekalipun. Tidak ada masalah selama perempuan memiliki kesadaran penuh terhadap dirinya sebagai subjek. Make-up itu menjadi bagian identitas diri tapi tidak menjadi indikator utama. Karena yang terpenting adalah perempuan mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, di dalam hatinya, di dalam pikirannya secara “sadar”. Sebab bagi para feminis, hal utama adalah perempuan merasa “utuh” terhadap dirinya sendiri dengan fisik yang dimiliki saat ini terlepas dari wacana standar kecantikan yang kerap menekan perempuan.
(Andi Nur Faizah)