Memaknai Konsep Keluarga Adil Gender (Part 2)
Dampak Pembakuan Peran di dalam Keluarga
Yuliantini (2018) dalam penelitiannya mengenai perempuan kepala keluarga mendapati bahwa perempuan lebih sulit ketika mengajukan usaha mikro di bank. Bagi calon nasabah yang telah menikah misalnya, diwajibkan untuk melampirkan dokumen yang ditandatangani atas persetujuan dan izin suami sebagai penanggung jawab. Kebijakan perbankan tersebut meminggirkan posisi perempuan, karena mengacu pada pembakuan peran (suami sebagai kepala keluarga), sehingga suami berhak mengetahui apapun yang dikerjakan istri dan harus berdasarkan persetujuannya.
Padahal, kondisi perempuan sangat beragam (suami menghilang begitu saja, suami sibuk dengan diri sendiri dan tidak menafkahi). Tentu saja perempuan akan sulit untuk mengakses program tersebut dan hal ini berdampak pada pemiskinan perempuan. Dampak lain dari pembakuan peran di dalam keluarga, yakni adanya ketimpangan relasi dalam rumah tangga. Pertama, subordinasi (dianggap tidak penting, posisi perempuan dianggap lebih rendah). Perempuan kerap kali dianggap tidak penting pendapatnya, sehingga keputusan di dalam rumah tangga hanya didasarkan oleh pendapat suami. Peran perempuan juga cenderung dibatasi pada ranah domestik, seperti perawatan maupun pekerjaan rumah tangga.
Kedua, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adanya relasi kuasa menyebabkan perempuan rentan mengalami kekerasan fisik maupun psikis dari suami dengan dalih “mendidik istri” dan sudah sewajarnya suami sebagai “kepala keluarga” mendisiplinkan istrinya. Sebagaimana dalam laporan Komnas Perempuan (2020), meningkatnya kasus KDRT disebabkan oleh kuatnya nilai-nilai patriarkal, ketimpangan relasi dalam keluarga, suami menjadi pengendali di dalam keluarga sehingga perempuan menjadi tidak berdaya.
Ketiga, stereotype atau pelabelan. Adanya pelabelan terhadap perempuan memosisikan istri sebagai sosok yang patut atau layak untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, sedangkan laki-laki adalah sosok yang bekerja di luar rumah. Adanya pembakuan peran dalam keluarga menyebabkan posisi antara suami-istri sangatlah saklek/ tidak fleksibel.
Pembakuan peran akan semakin mempertegas pelabelan terhadap “istri ideal” dan “tidak ideal”. Maka, sosok yang dianggap “istri ideal” adalah perempuan yang mengerjakan tugas rumah tangga sebaik-baiknya. Pandangan tersebut tentu saja semakin mendomestifikasi perempuan dan menekankan bahwa satu-satunya pihak yang patut bertanggung jawab terhadap ranah domestik adalah perempuan. Implikasinya, ruang gerak perempuan untuk aktif terlibat di ranah publik semakin dipersempit.
Keempat, perempuan mengalami multi beban. Adanya pemahaman bahwa istri satu-satunya pihak yang wajib mengerjakan tugas rumah tangga menyebabkan perempuan mendapat beban berat. Misalnya, perempuan yang bekerja di luar rumah juga dituntut untuk mengerjakan tugas rumah tangga. Bebannya semakin berat ketika perempuan sedang menjalani proses reproduksi (menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui) dan tetap diwajibkan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah
tangga, sementara suami enggan untuk membantu istri di rumah.
Penjabaran tersebut memperlihatkan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan/ ketimpangan akibat pembagian kerja yang kaku antara suami dan istri. Telaah keluarga semestinya menggunakan lensa gender yang secara kritis menggali pengalaman sosial dan biologis perempuan. Oleh sebab itu, mendefinisikan kembali makna keluarga yang adil gender sangat penting untuk diangkat dan digemakan.
(Andi Faizah – Tulisan ini telah dipublikasi di Majalah Swara Rahima edisi 57 Tahun 2020)