Feminisme Multikultural: Opresi Perempuan Tidak Selalu Sama
Ada beberapa permasalahan pada orang kulit hitam di Amerika. Stigma dalam proses pekerjaan, kurangnya akses, dan kekerasan secara psikologis maupun emosional menjadi problema. Khususnya untuk perempuan kulit hitam, mereka harus menghadapi pelecehan seksual, kekerasan verbal, julukan tertentu, ancaman, dan hinaan di tempat kerja (Fernandes & Alsaeed 2014). Tidak hanya itu, terkait dengan relasinya dengan pasangan, perempuan kulit hitam juga mengalami kepahitan, seperti menghadapi suami yang frustasi. Artinya, ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat perempuan kulit hitam teropresi dan mungkin tidak sama dengan pengalaman perempuan kulit putih di Amerika.
Berkaitan dengan hal itu, feminisme multikultural berargumen bahwa pandangan dalam sebuah negara misalnya Amerika, perempuan tidak diciptakan setara. Karena sangat bergantung pada kondisi ras, kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kesehatan, dan sebagainya (Tong 309).
Dalam hal ini, feminisme multikultural ingin melihat lebih dalam bahwa diskriminasi yang dialami perempuan tidaklah sama. Perempuan kulit putih dan kulit hitam tidak dapat dilihat setara. Spelman berargumen, feminis tradisional gagal untuk melihat adanya perbedaan yang mendasar terhadap perempuan kulit putih dan kulit hitam (Arivia 134). Amina Mama mengungkapkan, perempuan kulit hitam mengalami klasisme, rasisme, dan opresi. Perempuan kulit hitam diletakkan pada pekerjaan yang rendah dengan upah yang rendah serta akses kesehatan dan layanan kesejahteraan yang buruk (Humm 150).
Gagasan feminis multikultural menekankan opresi perempuan berdasarkan kondisi ras, kelas, pendidikan, dan pekerjaan. Perempuan kulit hitam ditempatkan pada sektor pekerjaan tertentu saja dan di dalam pekerjaannya mereka sangat rentan dengan pelecehan. Penempatan perempuan kulit hitam pada pekerjaan tertentu membuat mereka hanya mendapatkan upah kecil. Namun demikian, lingkaran kekerasan tidak berhenti sampai di situ. Upah kecil kemudian berimplikasi pada kondisi psikologis perempuan kulit hitam dan relasinya dengan keluarga.
Dalam konteks diri, perempuan kulit hitam sulit untuk mengembangkan potensi dan mendapatkan posisi tinggi di tempat kerja. Kondisi tersebut membuat perempuan kulit hitam menjadi tidak percaya diri terhadap kapasitas yang dimilikinya. Sementara pada konteks relasi keluarga, upah kecil akan mengantarkan mereka pada kekerasan secara fisik maupun psikologis. Kondisi perekonomian keluarga yang sulit menekan perempuan kulit hitam untuk bekontribusi dalam finansial keluarga. Acapkali perempuan kulit hitam mendapat kekerasan dari suaminya yang juga frustasi. Dalam hal ini, perempuan kulit hitam mengalami berbagai tekanan baik dalam ruang kerja, keluarga, dan dirinya sendiri.
Adapun pemikiran Davis dan Lorde dapat digunakan sebagai jalan keluar untuk membebaskan
perempuan kulit hitam dari belenggu rasisme, seksisme, dan klasisme. Pertama, perempuan kulit hitam perlu berdaya melalui gabungan kekuatan dari kelas menengah dan kelas kerja, secara bersama-sama melawan diskriminasi. Kedua, perempuan (baik kulit putih maupun kulit hitam), bersama-sama melawan rasisme dan seksisme melalui perspektif perempuan kulit hitam (pemahaman mendalam terhadap pengalaman dan suara perempuan kulit hitam).
Pemikiran feminisme multikulural sangat penting dalam memberikan pemahaman, bahwa kondisi perempuan tidaklah sama. Perempuan berkulit putih dan perempuan berkulit hitam memiliki kondisi berbeda dan tidak dapat disamaratakan. Apabila berefleksi lebih jauh lagi dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, stigma terhadap warna kulit masih tumbuh subur.
Selama perempuan itu sendiri masih menganggap “sosok berkulit putih” jauh lebih baik, hebat, cakap, rupawan, dan kompeten maka diskriminasi akan terus terjadi pada perempuan kulit hitam. Stigma tersebut perlu dilawan bersama untuk membebaskan perempuan kulit hitam dari belenggu rasisme, seksisme, dan klasisme.
(Andi Nur Faizah)