Representasi Perempuan Idaman: “200 Pounds Beauty”

200 Pounds Beauty merupkan salah satu film produksi Korea Selatan tahun 2006 yang bergenre komedi romantis. Kisah ini diangkat dari sebuah komik Jepang yang berjudul Kanna’s Big Suuccess hasil karya Yumiko Suzuki. Film yang telah meraih berbagai jenis penghargaan ini, menceritakan tentang seorang perempuan bernama Hanna yang berprofesi sebagai penyanyi di belakang panggung. Dalam hal ini, Hanna hanya bernyanyi di belakang panggung semata, sementara orang lain yang seolah-olah bernyanyi di atas panggung dengan lip sync.

Hanna memiliki suara yang indah tetapi tubuhnya sangat gemuk, sehingga perempuan lain yang bertubuh ideal dan berparas cantiklah yang menjadi penyanyi utama di atas panggung. Hanna tetap menjalani profesi tersebut karena menyukai dunia tarik suara dan juga mencintai produsernya, bernama Sang-Jun. Hanna yang memendam cinta kepada sang produser, termotivasi untuk menjadi seorang perempuan idaman yang bertubuh ideal dan berparas cantik. Sebab itulah, Hanna memutuskan untuk  menjalani operasi plastik untuk menjadi sosok yang ideal.

Setelah menjalani operasi plastik, Hanna sontak terkejut karena tubuhnya berubah menjadi langsing dan parasnya sangatlah cantik. Perubahan yang terjadi pada dirinya tersebut, tentu membuatnya tidak dikenal oleh orang lain dan Hanna pun mengganti namanya menjadi Jenny.

Kecintaannya pada dunia tarik suara tetap membuat Hanna kembali pada manajemennya untuk mengikuti audisi. Pada saat mengikuti audisi, Hanna langsung diterima dan tidak lagi menjadi penyannyi di belakang panggung, melainkan penyanyi utama di atas panggung. Dirinya langsung sukses dan menjadi idola. Suaranya yang indah dan penampilannya yang cantik menjadikannya populer di masyarakat luas.

Hanna sangat berbahagia, karena karirnya langsung melonjak dan ia kembali dekat dengan lelaki yang ia cintai, Sang Jun. Film ini berakhir dengan bahagia, karena Hanna pada akhirnya mengakui bahwa dirinya telah melakukan operasi plastik dan sang produser serta masyarakat luas menerima kondisinya apa adanya. Bagaimana pemikiran feminisme eksistensialis melihat kasus ini?

Tokoh feminisme eksistensialis, Simone de Beauvoir terinspirasi oleh seorang filsuf bernama Sartre, yang memaparkan bahwa manusia harus menjadi dirinya sendiri sebagai sosok yang bebas. Bagi Sartre, eksistensi diciptakan melalui organisme hidup yang mampu mengambil keputusan dan menegaskan kembali tujuannya (Tong 256). Sartre juga berargumen, bahwa manusia harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri (Arivia 123). Artinya, manusia merupakan makhluk yang bebas dan tidak ada yang memaksanya untuk melakukan tindakan dengan cara apapun juga (Tong 256).

Berangkat dari pemikiran ini, Beauvoir memaparkan bahwa perempuan sulit untuk menjadi dirinya sendiri dan kemudian menjadi “diri yang lain” (Liyan) karena mempercayai dirinya adalah makhluk yang perlu dilindungi. Implikasinya, perempuan mencari referensi dari laki-laki dan menjadikan dirinya sebagai objek dan laki-laki menjadi subjek (Arivia 122-123).

Beauvoir dalam bukunya berjudul “Second Sex: Kehidupan Perempuan” menyebutkan, bukan suratan biologis, psikologis, atau ekonomi yang menentukan sosok perempuan, melainkan intervensi orang lain yang menjadikan perempuan menjadi Liyan (3). Maksud Liyan bagi Beauvoir adalah perempuan menjadi “diri yang lain” sebagaimana konstruksi yang diciptakan dalam masyarakat, yakni berupa kepercayaan terhadap mitos karakter perempuan. Beberapa di antaranya seperti perempuan sebagai sosok pelengkap, penuh cinta kasih, penuh pengorbanan diri, menjadi objek, dan merasa inferior.

Menjadi Diri dan bukan Liyan amat penting artinya bagi Beauvoir, karena perempuan harus membangun dirinya sebagai subjek (Tong 273). Sebagaimana Sartre, Beauvoir meyakini, kemandirian dalam aspek ekonomi dapat membebaskan perempuan untuk menjadi perempuan yang mandiri (Tong 275). Dengan demikian, perempuan benar-benar dapat menjadi Diri apabila mampu menentukan nasibnya serta membebaskan tubuhnya tanpa intervensi ekstral di luar dirinya.

Mengaitkan pemikiran Beauvoir pada film 200 Pounds Beauty, nampak bahwa perempuan dapat melakukan pengorbanan untuk mewujudkan cinta kasihnya kepada seorang laki-laki. Pengorbanan yang dilakukan, berupa perubahan tubuh melalui operasi plastik untuk tampil memesona di depan orang lain. Perempuan ideal yang ditunjukkan di dalam film tersebut adalah perempuan yang bertubuh langsing, berdandan, berpakaian indah, berambut panjang, dan berparas cantik. Pemeran utama bernama Hanna mengubah tubuhnya menjadi sosok perempuan idaman dan inilah yang dimaksud oleh Beauvoir sebagai Liyan. Perempuan tidak menjadi dirinya sendiri, melainkan “menjadi perempuan” sebagaimana nilai-nilai yang berada dalam masyarakat yang sangat patriarkal. Nilai-nilai tersebut mencakup faktor psikis maupun fisik, yaitu sosok perempuan yang berkorban, lemah lembut, bertubuh langsing, dan berparas cantik (merias diri). Nilai tersebutlah yang diinternalisasi oleh masyarakat luas termasuk perempuan itu sendiri.

Beauvoir berargumen, perempuan mencari perwujudan cinta kasih pada dirinya sendiri. Perempuan membuat dirinya menjadi objek untuk dimiliki, yakni berupa keinginan untuk tampil cantik dan memesona untuk meraih jaminan kecantikannya (Beauvoir 101). Dalam hal ini, Hanna mewujudkan cinta kasihnya kepada sang produser dengan cara mempercantik diri agar tampil memukau dan sempurna. Hanna benar-benar menjadi sosok yang percaya diri akibat operasi plastik yang dilakukannya. Perubahan yang diperolehnya tersebut juga menuntunnya untuk meraih kesuksesan dan menarik perhatian lelaki yang ia cintai. Hanna percaya, bahwa tubuh yang ia miliki sebelumnya tidak dapat menjadi jaminan untuk tampil eksis. Artinya, perempuan tidak memiliki tubuhnya seutuhnya dan menjadi Liyan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sartre, manusia harus menjadi diri yang bebas dan bertanggung jawab. Pada kisah yang ditayangkan, Hanna tidak menjadi sosok yang bebas karena ia masih terbelenggu akan nilai-nilai yang berada dalam masyarakat. Ia memercayai bahwa tubuh yang gemuk tidak dapat menjadikannya cantik dan percaya diri.

Beauvoir sangat percaya bahwa sosok perempuan tidak diciptakan dari suratan biologis, psikologis, atau ekonomi, melainkan intervensi eksternal yang membentuk karakter perempuan itu sendiri. Kisah 200 Pounds Beauty memperlihatkan bahwa perempuan yang bertubuh gemuk tidak akan menjadi populer, sementara perempuan yang bertubuh langsing akan menjadi idola di tengah masyarakat. Artinya, masyarakat memandang perempuan yang bertubuh langsing lebih cantik dibandingkan perempuan bertubuh gemuk.

Nampak jelas saat Hanna telah melakukan operasi plastik dan menyamar menjadi Jenny, Hanna mampu menjadi penyanyi utama di atas panggung dan tidak lagi menjadi penyanyi di belakang panggung. Keindahan seorang perempuan diciptakan dan dikonstruksi dalam masyarakat dan menjadikan perempuan menjadi Liyan. Dalam hal ini, perempuan menjadi objek karena kondisinya yang harus menjaga penampilan tubuh agar dapat laku di pasaran. Profesi Hanna sebagai penyanyi menuntut tubuhnya untuk tetap terlihat indah di mata orang lain.

Sebagaimana yang diucapkan oleh Beauvoir dalam bukunya berjudul “Second Sex: Fakta dan Mitos”, perempuan yang berhias dan memakai wewangian akan berada di bawah kendali manusia, yakni disesuaikan dengan keinginan laki-laki dan seorang perempuan akan dianggap lebih menarik apabila tertata indah (227). Hanna yang berprofesi sebagai penyanyi dituntut untuk tampil sempurna oleh sutradaranya, yakni lelaki yang ia cintai. Hal tersebutlah yang membuat Hanna rela untuk menampilkan dirinya seperti keinginan sang sutradara. Dengan demikian, alur cerita dalam film 200 Pounds Beauty memperlihatkan sosok perempuan yang tampil sebagai Liyan sekaligus objek (dikendalikan oleh orang lain dan bukan dirinya sendiri).  

Beauvoir berargumen, perempuan dapat terlepas dari Liyan apabila dapat menjadi mandiri dari segi ekonomi serta mampu membebaskan tubuhnya. Meskipun dalam film tersebut Hanna menjadi sosok yang otonom dalam hal finansial, tetapi dirinya tidak dapat terbebas dari tubuhnya sendiri dan hal inilah yang menyebabkan perempuan masih menjadi objek, sebagaimana yang diungkapkan oleh Beauvoir. Konstruksi sosial membuat perempuan tidak terlepas dari berbagai bentuk ketidakadilan gender. Perempuan mendapat stereotipe, bahwa merias diri adalah hal penting untuk tampil cantik di depan orang lain bahkan kepada pasangannya untuk menyenangkan diri sang pujaan hati. Streotipe ini kemudian mendorong perempuan untuk menjadi Liyan melalui riasan diri untuk menyenangkan orang lain.  

Melihat gagasan Beauvoir, sangat penting artinya untuk menjadi Diri perempuan yang utuh. Pemikiran yang diberikan Beauvoir sangat berguna untuk kembali menyadarkan perempuan menjadi sosok yang bebas dan bertanggung jawab. Diri yang eksis timbul dari kesadaran yang otonom dan bukan diciptakan dari intervensi orang lain. Meskipun Beauvoir mengakui bahwa situasi hukum, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan menghambat perempuan, tetapi ia percaya bahwa tidak ada satupun yang dapat membatasi perempuan secara total (Tong 282). Hal tersebut menunjukkan optimisme Beauvoir terhadap eksistensi perempuan untuk terbebas dari Liyan. Meski demikian, pelibatan laki-laki juga sangat penting guna membangun Diri perempuan sebagai subjek. Laki-laki bukanlah musuh melainkan ideologi patriarkal yang harus digugat dan dilawan bersama.  

(Andi Nur Faizah)

Written by

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *